Langsung ke konten utama

pesantren dalam pembentukan civil society di Indonesia



PESANTREN DALAM PEMBENTUKAN CIVIL SOCIETY
DI INDONESIA
REFLEKSI
Disusun guna memenuhi tugas UAS
Mata Kuliah    : PKn
Dosen Pengampu        : Syamsul Ma’arif, M.Ag


Disusun oleh :
Rohimah          (123111138)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

A.    Abstrak
Pesantren berasal dari bahasa Sangsekerta yang kemudian memiliki pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe- dan akhiran -an yang menunjukkan arti tempat, jadi berarti tempat santri. Kata santri itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata, yaitu sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan untuk membina manusia menjadi orang baik. Zamakhsyari berpendapat, bahwa pesantren memiliki kata dasar santri. Kata santri itu sendiri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan Berg mengatakan bahwa kata santri berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku agama suci Hindu, atau seorang sarjana yang ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri ini berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci,buku-buku agama tentang ilmu pengetahuan.
Dari segi terminologis, pesantren diberi pengertian oleh Mastuhu adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami,menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian ini dapat dikatakan lengkap apabila didalam pesantren itu terdapat elemen-elemen seperti pondok, masjid, kyai (pimpinan/guru) dan pengajaran kitab-kitab klasik. Dengan demikian, pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam sebagaimana dalam definisi Mastuhu, dan apabila memiliki elemen-elemen tersebut.
Indonesia memiliki tradisi kuat civil society atau sering disebut masyarakat madani. Civil society (masyarakat madani) merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Jauh sebelum negara Indonesia berdiri, civil society telah berkembang pesat yang diwakili oleh kiprah beragam organisasi sosial keagamaan dan pergerakan nasional dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Dan pesantren merupakan salah satu lembaga yang tergolong dalam organisasi sosial keagamaan. Sifat kemandirian dan kesukarelaan para pengurus dan anggota organisasi tersebut merupakan karakter khas dari sejarah masyarakat madani (civil society) di Indonesia.

B.     Latar Belakang
Dalam relung sejarah panjang negeri ini, pondok pesantren dengan ciri utama pendidikan keislamannya telah menampilkan peran yang tidak sedikit bagi perkembangan pendidikan bangsa. Melalui model pendidikan agama islam yang komprehensif, podok pesantren yang bisa disebut sebagai satu-satunya lembaga pendidikan pribumi, telah mampu melahirkan banyak santri berkualitas yang secara riil dapat memberi sumbangsih bagi negeri ini. Sumbangsih ini bukan hanya berbentuk pada peningkatan moralitas yang menjadi ciri utama pesantren, tetapi juga dalam wujud pemberdayaan masyarakat dan lingkungan sekitar yang merupakan bagian integral dari lingkup kehidupan pondok pesantren.
Meskipun sama-sama menitik beratkan pola pendidikan pada materi-materi keislaman, terdapat beberapa perbedaan signifikan antara lembaga pendidikan islam asli Indonesia ini dengan model pendidikan islam yang ada di dunia islam lainnya. Pesantren diakui atau tidak terutama di masa silam lebih banyak menggunakan pendekatan kultural yang begitu lekat dengan beberapa nilai budaya jawa, yang menjadi latar kehidupan para wali sebagai pendahulu yang telah berjasa dalam membangun pesantren pada awalnya. Selain itu sifat-sifat dan akhlak pesantren menjadi ciri khas yang tak bisa lepas dari dunia santri. Santri dan kyai menjalin sebuah ikatan yang terhubung oleh dasar intelektualitas dan budaya yang memberi nuansa tersendiri bagi kehidupan moral di masyarakat. Seolah mengejawantahkan sebuah hadits Nabi yang disitir Al-Ghazali “Semua orang akan rusak kecuali orang yang berfikir (terpelajar), yang terpelajar akan rusak kecuali yang mengamalkan pengetahuannya, yang mengamalkan pengetahuannya akan rusak kecuali yang menggunakan ketulusan.”
Tradisi keilmuan pesantren yang mau tidak mau harus kita sebut berpola fiqh sentris ini telah dimulai dari awal abad XVI. Penjajahan Belanda diakui juga mempengaruhi tradisi ini, mengingat selama masa tersebut terputuslah kontak dengan dunia muslim di luar negeri. Akibatnya produk utama pendidikan pesantren hanya berkutat pada materi yang dengan mudah dapat diperoleh di dalam negeri, meskipun kontak melalui ibadah haji di Mekkah masih mungkin terjadi. Padahal kala itu pembagian bidang-bidang ilmu pengetahuan tengah berlangsung di sebagian besar dunia Islam. Sehingga wajah pesantren lebih didominasi ilmu agama yang cenderung statis tanpa orientasi pada ilmu pengetahuan di dunia lain yang lebih modern dan cepat berubah. Meski wujudnya yang murni seperti di masa silam telah sulit dijumpai, namun sampai sekarang image pesantren demikian itu masih mendominasi frame pemikiran banyak orang.
Dengan segala bentuk dan aneka model pembelajaran keagamaan yang masih dapat dirunut keberadaanya, pondok pesantren di masa depan jelas mampu memberi nuansa dan pencerahan baru bagi dunia pendidikan terutama di Indonesia. Tentu saja jika dibarengi dengan kesungguhan pada pengembangan ilmu-ilmu modern dengan metodologi yang lebih komprehensif. Sehingga khazanah intelektual pesantren yang begitu kaya dengan berbagai disiplin ilmu agama dapat bersinergi dengan ilmu modern yang akhirnya mampu melahirkan paradigma pembelajaran yang integratif dan tidak dikotomis. Hal demikian dapat dilaksanakan antara lain dengan memperkenalkan beberapa aspek pengetahuan modern yang aplikatif (applied sciences) dan mengkomparasikannya dengan berbagai disiplin ilmu islam yang menjadi keahlian pesantren.
Integrasi semacam ini tidak semata-mata menguntungkan dunia santri. Tetapi juga akan berdampak pada pengembangan masyarakat yang lebih dinamis karena integrasi pengetahuan yang terjadi. Sehingga keseimbangan pemikiran islam yang bersifat samawi dan pengayaan ilmu pengetahuan modern yang lebih humanis dapat tersinergi dengan optimal. Terlebih di zaman yang semakin kompleks ini, di mana sisi-sisi religiusitas manusia yang dulu digerus oleh pengetahuan yang dibiarkan bebas nilai (free value), tampak mulai kembali menampakkan diri. Yang jika tidak disikapi secara arif oleh dunia pendidikan islam macam pondok pesantren, maka kembalinya manusia pada spirit agama akan berdampak negatif, semisal radikalisme dan fundmentalisme. Karena itulah perencanaan ke depan bagi pengembangan kelembagaan pesantren di dunia pendidikan menjadi perlu untuk diperhatikan semua pihak. Apalagi dalam kerangka membangun masyarakat madani (civil society) yang mumpuni dan bertanggung jawab dalam tugas-tugas kemasyarakatan bagi masa depan bangsa.

C.    Pembahasan
1.      Pesantren
Semakin disadari tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat di masa kini dan mendatang. Paradigma “mempertahankan warisan lama yang masih relevan dan mengambil hal terbaru yang lebih baik” benar-benar penting untuk direnung ulang. Di dalam buku Pembaruan Pesantren (2006: viii) ditegaskan bahwa pesantren bukanlah museum purba tempat di mana benda-benda unik dan kuno disimpan dan dilestarikan. Juga bukan penjara di mana tindakan dan pikiran dikontrol dan dikendalikan habis-habisan. Pesantren adalah “laboratorium” tempat segala jenis dan aliran pemikiran dikaji dan diuji ulang.
 Istilah “pesantren” bukan merupakan sesuatu yang asing lagi di telinga kita. Terutama untuk pesantren salafiyah, kelahirannya jauh sebelum kita disebut bangsa Indonesia. Pesantren salafiyah cukup berperan dalam mengemban tata nilai bagi sistem budaya dan sosial terhadap masyarakat Indonesia. Pesantren salafiyah sebagai lembaga pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, sampai kapanpun akan tetap eksis. Sebab pesantren model ini berkarakteristik tradisional, indigenous dan unik. Kelahirannya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan pendidikan bagi masyarakat pedesaan.
Rahadjo (1982 : 208) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa sejak awal pertumbuhannya, pesantren memiliki bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi khusus yang berlaku bagi pesantren. Selanjutnya Dhofier (1982) mengemukakan tiga cirri yang pada umumnya dimiliki pesantren. Pertama, pesantren menanamkan nilai-nilai keagamaan yang sama, yaitu ketakwaan sebagai nilai utama. Nilai ini selanjutnya akan dijabarkan kedalam nilai-nilai yang lebih spesifik, seperti keikhlasan, kebersamaan, kesederhanaan, dan perubahan atau pembaharuan. Kedua, kiai adalah orang yang umumnya tergolong mampu secara ekonomis di lingkunganya, sehingga tidak mengherankan jika dia mampu membiayai sendiri kebutuhan hidup dan pesantrennya tanpa harus tergantung pada pihak lain. Ketiga, prestise dan kharisma yang dimiliki kiai memungkinkan untuk memperoleh informasi yang luas, termasuk akses pada sumber keunangan untuk pembiayaan  berbagai kebutuhan dalam pengelolaan pesantren. Identitas pesantren yang awal perkembangannya merupakan sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama islam, kini identitas itu mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan masyarakat. Meskipun demikian, pergeseran yang dialami pesantren sama sekali tidak menjadikannya tercerabut dari akar kulturalnya. Pesantren dengan karakteristik kemandirian dan independensi kepemimpinannya tetap memiliki beberapa fungsi, yaitu: (a) sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transformasi ilmu pengetahuan agama (islam) dan nilai-nilai keislaman (Islamic values); (b) sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control); (c) sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering).
Dari paparan di atas, Qomar (2002 :23) mengemukakan bahwa pesantren terlibat aktif dalam mobilisasi pembangunan masyarakat desa. Sehingga komunitas pesantren terlatih melaksanakan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat yang menyebabkan hubungan harmonis antara pihak komunitas pesantren dengan pihak masyarakat sekitar. Pesantren disamping berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan penyiaran agama islam, ia juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial (social change agent). Fungsi dan peran pesantren sebagai agen perubahan sosial tampak ketika terjadi proses perubahan di lingkungan masyarakat pedesaan, kiai dan pesantrennya memiliki posisi sentral yang mampu mendorong mereka melakukan tindakan kolektif. Selain itu, kiai dan pesantren bersama-sama dengan kelompok LSM yang lain terlibat secara aktif dalam program-program pemberdayaan masyarakat pedesaan, sehingga pesantren dapat diidentikkan sebagai lembaga yang populis dan peka terhadap program-program pemberdayaan masyarakat dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Dalam sejarah panjangnya, pesantren identik dengan masyarakat pedesaan yang terpinggirkan. Karena itu kepedulian pesantren dalam pemberdayaan masyarakat muncul terutama ketika tuntutan terhadap pesantren semakin mengemuka. Pesantren kemudian tidak hanya dituntut sebagai institusi pendidikan dan pembinaan moral keagamaan, tetapi juga menjadi agen perubahan dan pemberdayaan masyarakat. Peran tersebut perlu dilakukan karena karakteristik pesantren sebagai lembaga pendidikan sangat berbeda dengan pendidikan formal. Dengan karakteristik itu pesantren menghasilkan lulusan yang memiliki kemandirian dan kepekaan dalam menatap dunia di sekelilingnya, sedangkan pendidikan formal cenderung menggantungkan pada dunia kerja sektor formal, seperti prgawai negeri, karyawan perusahaan pemerintah atau swasta. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam strategis untuk mewujudkan generasi muslim yang siap menjalankan amanat kehidupan dalam membangun peradaban umat, pesantren memiliki banyak fungsi yang sangat tinggi nilai dan martabatnya dalam dunia pendidikan.
Setidaknya ada tiga fungsi utama pesantren untuk merealisasi tujuan mulianya dalam mewujudkan kekuatan sumber daya manusia pada semua aspeknya. Ketiganya yaitu:
a.   fungsi ta’lim (pengajaran ilmu pengetahuan yang dibutuhkan santri),
b.   fungsi tarbiyah (yaitu mendidik santri, agar mereka terarah dan terbimbing),
c.   fungsi Lembaga Dakwah Islam yang melayani masyarakat.
Keberhasilan pelaksanaan fungsi ini sangat ditentukan oleh keharmonisan hubungan antara guru, santri dan materi-materi itu sendiri. Pondok bukan hotel, karena pondok didirikan santri. Pondok adalah tempat berlatih menjadi orang yang suka dan pandai menolong, bukan yang hanya selalu minta ditolong. Ajaran atau didikan yang utama di pondok ialah tidak menggantungkan diri kepada orang lain (mandiri).
Sehubungan dengan fungsi dan peran pesantren, serta karakteristik yang dimilikinya menjadikan pesantren sebagai sumber daya lokal sekaligus sebagai modal sosial lokal yang strategis dalam upaya membangun masyarakat “mulai dari belakang”. Horishoki (1987) berpandangan bahwa kiai mempunyai kemampuan menerima, menerjemahkan dan melakukan transformasi ide-ide pembangunan kepada warga masyarakat. Sedangkan Adi Sasono berpandangan bahwa pesantren merupakan akar dari kehidupan pedesaan, karena itu akar ini perlu diperkuat dengan mengembangkan SDM dan fungsi ekonomi. Kalau akar ini lemah, maka penduduk desa yang mengalir ke kota pada gilirannya akan menimbulkan masalah di kota.
Syaba (2004) mengemukakan tiga peran kiai dan pesantren dalam pembangunan masyarakat pedesaan, yaitu pesantren sebagai lembaga pendidikan, pesantren sebagai pusat penggemblengan kader-kader muslim, dan pesantren sebagai agen perubahan. Jika dijelaskan lebih jauh, peran yang dapat dilakukan pesantren yaitu: (a) dalam konteks pendidikan pesantren berperan dalam membangun jaringan antara pihak pesantren dengan wali santri, alumni-alumninya dan masyarakat sekitar; (b) pesantren sebagai pusat penggemblengan kader-kader da’i, dengan pendelegasian para kadernya untuk berkhidmat pada masyarakat; (c) para alumni yang telah kembali kemasyarakat secara tidak langsung telah membangun jaringan komunikasi dengan masyarakat dimana mereka tinggal.

2.      Civil Society
Istilah Civil Society berasal dari proses sejarah masyarakat barat. Akar perkembangannya dapat diruntut mulai  Cicero, bahkan menurut Manfred Riedel, lebih ke belakang sampai Aristoteles. Tapi Cicero-lah yang memulai menggunakan istilah societies civilis dalam filsafat politiknya. Hikam mendefinisikan makna civil society sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Perdebatan soal makna civil society diakui oleh Aswab Mahasin sebagai hal yang sulit. Ini diungkapkan dalam bukunya yang berjudul Menyemai Kultur Demokrasi. Tapi Mahasin memiliki kecenderungan terhadap pendapat Hegel dalam konsepnya burgerliche gesellscaft, yang dimana istilah civil society diterjemahkan sebagai masyarakat warga Negara.
Lahirnya civil society merupakan buah dari penyemaian demokrasi dan HAM. Untuk membangun civil society, dibutuhkan pengetahuan tentang civil society itu sendiri. Civil society merupakan sebuah konsep yang menawarkan ide-ide kreatif, cemerlang dan bijaksana dalam melaksanakan fungsinya sebagai bagian integral dari bangsa dan negara. Dan harus bisa kritis dan waspada, agar dapat berfungsi sebagai counterpoint.
Civil society dalam bahasa Indonesia adalah masyarakat madani. Kata civil berasal dari bahasa latin yaitu civitas dei  yang artinya kota ilahi dan society yang berarti masyarakat. Kata civil society dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota. Yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Masyarakat madani mempunyai cirri-ciri yang khas yaitu kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbale balik (reprocity) dan sikap saling memahami dan menghargai. Masyarakat madani lebih dari sekedar gerakan pro-demokrasi, karena ia mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas dan bertamaddun (civility).
Sebagian pakar menyebut istilah civil society sama dengan masyarakat madani. Istilah masyarakat madani menurut Dawam Raharjo, pertama kali dikemukakan oleh Dato Anwar Ibrahim. Namun Dawam Raharjo tidak setuju dengan pemikiran yang mengatakan bahwa civil society identik dengan masyarakat madani. Cakupan masyarakat madani lebih luas dari civil society. Konsep masyarakat madani juga mencakup political society atau negara. Jika civil society merupakan ruang hidup yang telah meninggalkan individu dan keluarga, masyarakat madani ingin menghidupkan kembali peranan individu dan keluarga. Dengan demikian, masyarakat madani adalah sebuah masyarakat ideal, dimana civil society merupakan bagian dari masyarakat madani. Menurut Aswab Muhasin istilah masyarakat madani berarti masyarakat kota yang umumnya telah tersentuh oleh peradaban maju. Sedangkan dalam bukunya Siti Hidajatul Hidajah, civil society merupakan masyarakat yang memiliki peradaban maju dengan tingkat kesadaran yang tinggi dalam membangun sebuah bangsa. Kesadaran masyarakat tersebut, secara alami muncul sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk ikut serta dalam partisipasi pembangunan yang sedang berlangsung.

3.      Pesantren Dan Pembentukan Civil Society
Berbicara tentang pemberdayaan masyarakat dalam konteks Indonesia, maka kehadiran pesantren menjadi suatu keniscayaan untuk dilibatkan. Sejak kemunculannya, pesantren memang tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat. Lembaga keagamaan ini tumbuh dan berkembang untuk masyarakat. Pesantren didirikan dengan tujuan mengadakan transformasi sosial bagi masyarakat daerah sekitarnya. Pelibatan pesantren dalam pemberdayaan masyarakat berpulang pada kenyataan bahwa masyarakat Indonesia yang mayoritas komunitas muslim, umumnya menetap di daerah pedesaan.
Secara embrional, pesantren sebenarnya telah mrngemban aspek-asperk tertentu dari nilai-nilai yang ada pada civil society. Sejak awal, pesantren sangat menekankan kepada moralitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemandiriran, kesederhanaan, dan sejenisnya. Kemandirian dan moderasi yang dianut pesantren dan diterapkan kepada santri merupakan modal utama dalam mengantarkan para santri dan masyarakat sekitar menuju pembentukan masyarakat yang diinginkan. Karakteristik semacam itulah yang mengantarkan pesantren kepada eksistensinya yang unik sebagai sub-kultur dengan alternated way of life. Hal ini tentunya member posisi menguntungkan bagi pesantren. Dengan posisi tersebut, secara substansial pesantren merupakan agen civil society yang sejati.
Sayangnya, pesantren belum sepenuhnya mampu menerjemahkan secara kreatif nilai-nilai tersebut ke dalam konteks kekinian. Kenyataan menunjukkan, bahwa masyarakat islam, termasuk komunitas pesantren masih tertinggal dalam mentransformasikan dirinya sebagai agen pemberdayaan civil society di Indonesia. Ditambah lagi dengan pemaknaan pesantren terhadap pengabdian dan pengembangan masyarakat masih terkesan parsial dan selalu ditekankan pada aspek pengembangan ilmu agama murni. Meskipin sejak awal berdiri pesantren memiliki watak pelayanan dan pengabdian masyarakat, realitas telah menunjukkan bahwa tidak semua pesantren menerjemahkan konsep tersebut kedalam pengertian yang mencakup ilmu dan amal. Sejatinya, pesantren memiliki potensi cukup penting dalam rangka mengembangkan civil society. Oleh karena itu, pesantren dituntut untuk melakukan suatu strategi yang bisa mengoptimalkan potensi-potensi yang dimilikinya, terutama dalam pemberdayaan masyarakat.
Untuk mencapainya, nilai-nilai dasar pesantren perlu dikontekstualisasikan dengan kondisi yang dihadapi sekarang (kekinian). Dialog antara tradisi dan modernitas perlu dilakukan untuk menbentuk civil society dalam konteks Indonesia. Nilai kemandirian dan keterbukaan sebagai nilai dan tredisi pesantren perlu dijabarkan kedalam konsep yang lebih universal dan kontekstual, sehingga bisa sejalan dengan kebutuhan masyarakat luas yang pada dasarnya sejalan dengan nilai-nilai dasar pengembangan civil society. Dan untuk nilai-nilai moralitas islam, seperti keadilan, kesetaraan dan solidaritas sosial perlu digali kembali dan dikembangkan secara kreatif. Sebab pada dasarnya civil society adalah masyarakat yang mandiri dan mengedepankan keadaban dalam kehidupannya. Yang mampu menyikapi secara kritis fenomena-fenomena di sekitarnya, dengan tetap berlandaskan pada etika universal. Kemampuan seperti ini akan mengantarkan pesantren untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dalam pengertian yang sesungguhnya. Dengan kata lain, civil society akan memiliki pijakan teologis yang kuat, sehingga pesantren akan terlibat untuk membumikan nilai-nilai tersebut kepada masyarakat luas, tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai lembaga pendidikan agama.
Nantinya, peletakan civil society atas landasan teologis yang kuat akan mengantarkan pesantren untuk merumus ulang kurikulum pendidikannya. Pendidikan kewargaan atau kerja pengembangan masyarakat yang selama ini belum diterapkan secara utuh dalam kurikulum pesantren akan dilekatka secara intrinsic ke dalamnya. Tauhid sosial akan disikapi seperti tauhid uluhiyah  dan rububiyah sehingga unsur-unsur tersebut dapat dikembangkan secara intens dalam dunia pesantren. Melalui upaya strategis yang ditindaklanjuti dengan langkah-langkah operasional, masyarakat demokratis yang kuat, pluralis, dan berkeadaban diharapkan segera terwujud di bumi Pertiwi ini. Jika semuanya bisa terwujud, maka akan tercipta kehidupan yang damai, tenang dan sejahtera bagi seluruh masyarakat di Indonesia.

4.      Etika Sosial Dari Pesantren
Fenomena yang akhir-akhir ini menampakkan civility sebagai bagian dari masyarakat yang berbudaya mengalami pemudaran dari bangsa Indonesia. Amuk massa, kerusuhan, pertentangan sosial serta konflik-konflik yang terus terjadi dari waktu ke waktu. Maraknya terorisme selalu melibatkan kelompok-kelompok tertentu umat islam. Menjadikan  islam terlihat buram dan angker. Yang mana bertolak belakang dengan islam yang sesungguhnya mengajarkan tentang nilai-nilai dan moralitas yang sangat luhur. Tidak ada ajaran tentag kekerasan di dalam islam.
Dari kenyataan tersebut, lembaga-lembaga keislaman memiliki tanggung jawab besar untuk mencari jalan keluar demi terciptanya kehidupan yang lebih baik pada masa mendatang. Dalam konteks Indinesia, pesantren sebagai lembaga keislaman yang asli Indonesia menjadi terlibat dalam persoalan tersebut. Pesantren dituntut meletakkan nilai-nilai islam dalam kenyataan kehidupan. Pengembangan nilai dan ajaran islam di Indonesia dengan melibatkan pesantren tak dapat di elak lagi. Pada satu sisi, pesantren merupakan lembaga islam yang berwatak pribumi sehingga pengembangan nilai-nilai islam memiliki peluang besar untuk dapat diterima masyarakat. Di sisi lain, sejak kemunculannya pesantren memang tidak terlepas dari masyarakat. Pesantren yang didirikan berdasar keinginan untuk melakukan transformasi sosial bagi masyarakat sekitar.
Dalam mengemban misi tersebut, pesantren berpijak pada paradigma dasar bahwa seluruh kehidupan dipandang sebagai ibadah. Melalui paradugma yang dianutnya, pesantren memiliki pandangan bahwa ibadah dalam perspektif islam meliputi ibadah murni dan ibadah sosial yang memiliki dampak maslahat bagi pelakunya dan bagi masyarakat lainnya. Pandangan dasar tersebut selanjutnya mengantarkan pesantren pada upaya penggalian dan pengembangan nilai-nilai moralitas yang sejalan dengan pandangan tersebut. Lembaga pesantren sarat dengan nilai-nilai moral yang mempresentasikan kezuhudan, wara’, tawakkal, sabar, tawadhu’, dan mengedepankan kejujuran. Nilai-nilai tersebut telah mengantarkan pesantren kepada sikap kemandirian dan kesederhanaan. Selain itu, di kalangan santri juga berkembang solidaritas yang cukup tinggi, toleransi dalam menjalankan tugas dan pengorbanan yang cukup besar bagi kepentingan umum.
Nilai-nilai tersebut diupayakan dipelihara dan dilestarikan melalui tradisi keilmuannya yang integral. Yang dipentingkan dalam dunia pesantren bukan hanya aspek pengamalan hokum atau akhlak semata, melainkan juga pengertian tentang kehidupan dan hakikat manusia serta kehidupan masyarakat. Nilai dan tradisi pesantren tersebut merupakan etika holistik yang memberikan landasan bagi setiap muslim dalam sikap dan perilakunya sebagai individu, bagian dari komunitas muslim dan masyarakat umum, serta sebaga makhlik Allah dan khalifah-Nya. Tetapi, akibat dari modernitas, dengan nilai-nilai budayanya yang merambah luas bahkan ke dunia pesantren, berdampak pada nilai-nilai luhur pesantren yang mulai kehilangan viabilitasnya dan cenderung menjadi sekedar formalitas yang kehilangan makna substansialnya.
Memudarnya tradisi luhur pesantren tentu akan berdampak pada kehidupan masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim umumnya tinggal di pedesaan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pesantren merupakan representasi dari masyarakat muslim daerah-daerah pedesaan. Dengan demikian, ketika pesantren kehilangan nilai-nilai luhur yang telah dianutnya, maka akan berpengaruh pada masyarakat yang selama ini menjadikan pesantren sebaai rujukan. Kondisi tersebut tentu tidak menguntungkan bagi pesantren maupun masyarakat luas.
Tentu pesantren tidak dapat tinggal diam melihat krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung itu menimpa masyarakat Indonesia. Pesantren dituntut untuk melihat kembali visi dan misi yang diembannya. Pesantren harus memiliki visi yang transformative bagi terciptanya masyarakat yang berpendidikan yang secara substansial sangat berkelindan dengan keadaban. Melalui visi itu, pesantren ditantang untuk mengembangkan pendidikan dalam arti yang sebenarnya. Bukan sekedar transfer ilmu pengetahua semata, apalagi hanya sekedar bersifat formalitas.
Pencapaian ke arah itu mengharuskan pesantren untuk membaca kembali nilai-nilai luhur yang telah menjadi tradisi pesantren, sehingga dapat dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian. Untuk itu, metodologi yang tepat, wawasan yang luas,serta proses yang berkesinambungan menjadi keharusan untuk dilakukan dan dikembangkan. Melalui upaya tersebut, nilai-nilai moral islam diharapkan dapat dikembangkan menjadi akhlak sosial dan dapat mewujudkan masyarakat yang berkeadaban menuju kehidupan yang lebih adil, damai dan sejahtera.

D.    Kesimpulan
Persoalan-persoalan yang dihadapi pesantren harus segera dicarikan solusinya dan diselesaikan. Tradisi yang dijadikan landasan keilmuan pesantren hendaknya menjadi bingkai dalam merumuskan islam pesantren dalam konteks kekinian. Kesederhanaan, kemandirian, dan keikhlasan perlu dijadikan roh dalam suatu kontekstual yang sesuai perkembangan dan perubahan kehidupan. Dengan demikian, kesederhanaan akan mnemukan titik labuhnya pada pengembangan efisiensi dan efektifitas lembaga, dan kemandirian akan diarahkan kepada pembentukan civil society, serta keikhlasan akan dikonkretkan kedalam bentuk pengembangan prestasi. Kemampuan pesantren dalam melakukan hal tersebut akan mengantarkannya menjadi lembaga yang benar-benar hadir sebagai agen perubahan dalam artian yang sesungguhnya, sekaligus sebagai penjaga moral yang kukuh di tengah proses dehumanisasi yang berjalan pada saat ini. Dengan demikian, maka lembaga pesantren dapat memberikan sumbangsih nyata bagi terbentuknya civil society di Indonesia.


















DAFTAR PUSTAKA

A’la, Abd. 2006. Pembaruan Pesantren. Yogyakarta : Pustaka Pesantren.
Hidajah, Siti Hidajatul. 2004. Birokrasi & Pembentukan Civil Society. Surabaya : Pukad Hali.
Mahasin, Aswab. 1999. Menyemai Kultur Demokrasi. Jakarta : Pustaka LP3ES.
Srijanti., et all. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Mahasiswa. Jakarta ; Graha Ilmu.
Sulaiman, In’am. 2010. Masa Depan Pesantren. Malang : Madani.
Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak. 2007. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah.

Komentar